TRADISI RUWAHAN PADA MASYARAKAT NGALIYAN NGLIPAR KABUPATEN GUNUNGKIDUL

TRADISI RUWAHAN PADA MASYARAKAT NGALIYAN NGLIPAR KABUPATEN GUNUNGKIDUL
Endang Mursita Rahma (2017015078)

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tradisi turun temurun yang ada di Kabupaten Gunungkidul kecamatan Nglipar desa Ngaliyan. Sebagai masyarakat yang masih melestarikan kebudayaan daerah masyarakat desa Ngaliyan masih melestarikan tradisi Rwahan.. Tradisi ini diadakan setiap satu tahun sekali menjelang bula Rahmadan pada bulan Ruwah yang bertepatan pada tanggan 21 April 2019. Tradisi ini biasanya disebut dengan sedekah Ruwah atau Ruwahan. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat untuk menyambut bulan Ramadhan dengan melakukan genduri dan Ziarah kubur untuk mendoakan almarhum keluarga. Tradisi ini ruwahan dijadikan sebagai ajag silaturahmi dan sedekah kepada sesama oleh masyarakat desa Ngaliyan. Artikel ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik observasi, wawancara dan studi pustaka. Dari hasil observasi tradisi ini telah melekat kuat pada masyarakat Gunungkidul itu sendiri, sehingga setiap tahunya tradisi tersebut sudah menjadi agenda wajib di seluruh desa di Kabupaten Gunungkidu.
Kata Kunci :Ruwahan, silaturahmi, tradisi

PENDAHULUAN
a.         Latar Belakang
Kebudayaan merupakan salah satu kekayaan yang Indonesia miliki, kebudayaan yang beragam ini merupakan harta yang paling berharga bagi Indonesia, sehingga kebudayaan yang ada di Indonesia ini harus tetap dilestarikan dan dipetahankan. Kebudayaan adalah suatu keyakinan yang mengandung kepercyaan, kesenian, moral, hukum, tradisi dan adat istiadat. Dengan adanya kebudayaan makan akan timbulah sebuah adat kebiasaan atau aturanyang mengatur kehidupan bermasyarakat dengan tuhannya. Adat kebiasaan ini merupakan tradisi yang masih turun temurun hingga saat ini. Salah satu adat kebiasaan atau tradisi yang masih dilkukan sampai saat ini adalah tradisi  Ruwahan. Tradisi ruwahan adalah tradisi mengirimkan doa kepada para leluhur sebelum datangnya bulan suci rahmadhan yang dilakukan pada bulan Ruwah (penangalan jawa) atau bulan syaban (hijrah) yang dilakukan satu tahun sekali . Kata Ruwah berasal dari kta “arwah” atau “roh”.  Dengan begitu tradisi mengenang dan mendoakan leluhur merupakan suatu tradisi yang wajib dilakukan oleh beberapa orang jawa salah satunya masyarakat desa Ngaliyan Kabupaten Gunungkidul.
            Masyarakat Ngaliyan Kabupaten Gunungkidul merupakan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi Ruwahan,sehingga setiap tahunya mereka masih wajib mengadakan tradisi ruwahan. Tradisi ruwahan ini bagi masyarakat desa Ngaliyan masih menjadi acara yang wajib dilakukan setiap tahunya. Pelaksanaan tradisi ruwahan dilaksanakan di rumah Pak PT ataupun juga dilakukan di balai desa setempat. Masyarakat Ngaliyan biasanya melaksanakan ruwahan pada waktu siang hari yaitu sekitar sebelum sholat Dzuhur tiba atau sebelum jam 12 siang. Pada pelaksanaan Ruwahan tersebut dilakukan kenduren atau Genduren dan setiap orang membawa makanan berupa nasi dan lauk serta kue apem, setelah acara genduren itu selesai makanan tersebut dibawa pulang kembali pulang untuk dimakan.
            Tradisi ruwahan pada masyarakat desa Ngaliyan tidak hanya diikuti oleh kaum laki-laki saja, tetapi tak ketinggalan kaum wanita pun juga mengikutinya sehingga semua masyarakat desa Ngaliyn baik laki-laki maupun perempuan boleh mengikuti tradisi ruwahan tersebut.  Tradisi Ruwahan menjadi ajang pemersatu masyarakat desa Ngaliyan yang mempunyai profesi beragam, sehingga membuat masyarakat desa Ngaliyan mempunyai waktu untuk berkumpul bersama. Sehingga masyarakat dapat saling bersilaturahmi satu sama lain dengan warga yang lainnya. Dengan adanya tradisi ruwahan ini kita selalu ingat akan Tuhan YME yamg telah memberikan rahmad dan hidayahnya kepada kita.

b.        Tujuan
1)      Untuk mengetahui sejarah diadakannya tradisi Ruwahan.
2)      Untuk mengetahui tradisi Ruwahan pada masyarakat desa Ngaliyan kecamatan Nglipar Kabupaten Gunungkidul.
3)      Untuk mengetahui ubo rampe yang digunakan dalam Tradisi Ruwahan.
4)      Untuk mengetahui nilai yang dapat diambil darii Tradisi Ruwahan yang masih dijalankan hingga saat ini.

PEMBAHASAN
Tradisi Ruwahan diadakan setiap bulan Ruwah (penangalan jawa) dan pada bulan Syaban, namun pelaksanaan Ruwahan tersebut tidak ada waktu yang pasti dalam pelaksanaannya. Dalam ajaran Islam, bulan Syaban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Sehingga berbagai tempat memperingati tradisi Ruwahan untuk mendoakan para leluhur. Dalam masyarkat Jawa tradisi atau ritual Ruwahan sudah ada pada zaman Hindu-Budha. Ruwahan bukanlah tradisi asli dari Jawa melainkan peninggalan dari agama Hindu. Pada saat itu ruwahan disebut dengan tradisi upacara srada namun kemudian masyarakat Jawa lebih mudah menyebutnya dengan upacara nyadran. Pada saat nyadran masyarakat membawa uborampe seperti kembang, apem, ketan kukus, kolak, menyan dan air kekuburan. Kemudian setelah agama Islam masuk ke pulau Jawa. Budaya yang sudah lestari tidak dihilangkan tetapi dimasuki dengan unsur-unsur islam.
Saat itu, ruwahan  dimaknai sebagai sebuah tradisi yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, tradisi ruwahan yang ada pada zaman Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya ruwahan. Oleh karena itu, ruwahan bisa jadi merupakan akomodasi para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa. Langkah itu ditempuh para wali, karena cara tersebut efektif agar orang jawa mau mengenali dan masuk Islam. Selain ritual ruwahan, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan. Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu.
Tradisi Ruwahan pada masyarakat desa Ngaliyan dimaknai sebagai mengirimkan do’a kepada para leluhur sebelum datangnya bulan suci rahmadhan yang dilakukan pada bulan Ruwah (penangalan jawa) atau bulan sya’ban (hijrah) yang dilakukan satu tahun sekali. Hal tersebut dilakukan untuk mengenang dan mendoakan para leluhur yang telah tiada. Pada masyarakat desa Ngaliyan, prosesi tradisi ruwahan biasanya dilakukan secara bersama dengan berkumpul di rumah salah satu warga, biasanya dilakukan di rumah Pak RT ataupun Balai desa. Sehingga para warga berbondong-bondong mendatangi balai desa atau rumah Pak PT untuk melakukan doa bersama. Masyarakat desa Ngalian jika mengetahui acara Ruwahan tiba akan mempersiapkan berbagai makanan untuk digunakan sebagai Genduri atau kenduri. Kenduri adalah sebuah tradisi doa bersama di salah satu tempat yang telah disediakan dengan dipimpin oleh Mbah Kaum (Orang yang biasa memimpin do’a). Makanan yang akan dibawa genduri berupa nasi dan lauk pauk serta kue apem. Nantinya nasi tersebut akan dibawa genduri dan biasanya dibawa pulang kembali atau bagi yang berkenan bisa dimakan di tempat secara bersama-sama. Kue apem melambangkan agar kita selau meminta ampunan dan taubat kepada yang maha kuasa, selain itu kue apem juga melambangkan kepada kita untuk memohonkan ampun untuk leluhur yang telah tiada dengan cara berdo’a. Sedangkan nasi dan lauk pauk sebagai lampang rasa syukur karena telah diberi rahmat dan kesehata  sehingga dapat mejalankan ibadah berupa berbagi kepada sesama.
Prosesi Tradisi ruwahan di desa Ngaliyan dilakukan pada siang hari yaitu sebelum jam 12 siang atau shakat Dzuhur. Pemilihan waktu siang hari  untuk prosesi kegiatan Ruwahan karena pada siang hari masyarakat desa Ngaliyan sudah berada di rumah, dengan alasan kebanyakan warga jika pagi hari beraktivitas di ladang dan sore hari warga kebanyakan pergi mencari makan ternak. Dengan demikian pemilihan waktu untuk acara  Genduri Ruwahan dilakukan pada siang hari. Setelah melakukan genduri warga pulang kerumah masing-masing. Tradisi ruwahan ini terdapat dua kegiatan yang pertama Ziarah makam dan yang kedua Genduri. Namun, untuk kegiatan  Ziarah makam boleh dilakukan pada siang, sore ataupun pagi hari. Biasanya pada saat Ruwahan pemakaman ramai didatangi warga yang mendoakan para leluhur dan membersihkan makam. Kebanyakan masyarakat datang selain untuk mendo’akan juga sekaligus membersihkan makam agar lebih terawat.
Tradisi Ruwahan bagi masyarakat desa Ngaliyan digunakan sebagai ajang untuk mempererat tali silahturahmi dan mempererat persatuan dan kekompakan antar warga. Nilai yang dapat dipetik dari adanya tradisi Ruwahan ini yaitu, dapat melestarikan kebudayaan daerah yang masih diuri-uri hingga saat ini, yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa tradisi ruwahan merupakan tradisi peninggalan Hindhu-Budha pada zaman dahulu sehingga perlu kita jaga gar tidak tergerus oleh era Globalisasi. selain itu tradisi Ruwahan juga mengingatkan kepada kita agar kita selalu bersyukur atas nikmat yang telah diberika, sekaligus dapat mengingatkan kepada kita agar senantiasa mendo’akan leluhur yang telah tiada. Tradisi Ruwahan juga dapat mengingatkan kepada kita bahwa bulan Rahmadhan semakin dekat agar kita bisa mempersiapkan diri untuk menyambut dan menjalankan ibadah puasa. Tradisi Ruwahan juga dapat dijadikan sebagai ajag menjalin silahturahmi dan berbagi kepada sesama. Dengan begitu banyak nilai yang dapat kita ambil dari tradisi Ruwahan tersebut, hal ini membuktikan bahwa tradisi di Indonesia sangat beragam sehingga perlu dilestarikan agar tidak terlupakan.

KESIMPULAN
            Tradisi Ruwahan adalah tradisi mendo’akan para leluhur yang diadakan setiap bulan Ruwah (penangalan jawa) dan pada bulan Syaban, namun pelaksanaan Ruwahan tersebut tidak ada waktu yang pasti dalam pelaksanaannya. Dalam ajaran Islam, bulan Syaban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Sehingga berbagai tempat memperingati tradisi Ruwahan untuk mendoakan para leluhur. Kegiatan yang dilakukan dalam tradisi Ruwahan yaitu yang pertama Genduri (do’a bersama) dan kedua Ziarah kubur/ makam. Genduri diadakan dengan membawa beberapa makanan yang berupa nasi dan berbagai lauk pauk dan yang tak ketinggalan adalah kue apem. Kue apem melambangkan meminta ampun kepada tuhan YME, sedangkan nasi dan lauk melambangkan rasa syukur kepada Tuhan YME.
Tradisi Ruwahan bagi masyarakat desa Ngaliyan digunakan sebagai ajang untuk mempererat tali silahturahmi dan mempererat persatuan dan kekompakan antar warga. Nilai yang dapat dipetik dari adanya tradisi Ruwahan ini yaitu, dapat melestarikan kebudayaan daerah yang masih diuri-uri hingga saat ini, yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa tradisi ruwahan merupakan tradisi peninggalan Hindhu-Budha pada zaman dahulu sehingga perlu kita jaga gar tidak tergerus oleh era Globalisasi. selain itu tradisi Ruwahan juga mengingatkan kepada kita agar kita selalu bersyukur atas nikmat yang telah diberika, sekaligus dapat mengingatkan kepada kita agar senantiasa mendo’akan leluhur yang telah tiada. Tradisi Ruwahan juga dapat mengingatkan kepada kita bahwa bulan Rahmadhan semakin dekat agar kita bisa mempersiapkan diri untuk menyambut dan menjalankan ibadah puasa. Tradisi Ruwahan juga dapat dijadikan sebagai ajag menjalin silahturahmi dan berbagi kepada sesama.

SUMBER
  1. Wawancara Bapak Suparman selaku warga setempat yang masih melakukan tradisi Ruwahan.
Observasi secara langsung kegiatan Ruwahan di desa Ngaliyan.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Sebelum Menanam dengan Ritual Tari Hudog di Kalimantan Utara

TRADISI RASULAN DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Kesenian Daerah Kuda Lumping “Embleg” di Buluspesantren