TRADISI NYADRAN YANG MASIH MELEKAT DI MASYARAKAT KARANGSEMUT KABUPATEN BANTUL
TRADISI NYADRAN YANG MASIH MELEKAT DI MASYARAKAT
KARANGSEMUT KABUPATEN BANTUL
Oleh :
Nadya
Rifka Ayu Maheldaswara
NIM : 2017015045
ABSTRAK
Tradisi nyadran adalah Tradisi yang tidak harus di
tinggalkan karena tradisi nyadran untuk mengajak masyarakat berbaur, besatu,
dan menjalin silaturahim antar sesama manusia, leluhur. Menurut tradisi nyadran
saat ini yang dilakukan masyarakat adalah tradisi yang dilaksanakan pada jaman
wali songo selain mengajak masyarakat untuk sialaturahim tapi juga untuk
menjunjungtinggi nilai)nilai keagamaan. Sehingga pola pikir manusia tidak
menganggapnya sesuatu yang biasa, tetapi tradisi nyadran adalah sesuatu tradisi
yang mempunyai sakral. Upacara tradisional yang memiliki makna yang sangat
dalam sehingga masih dilestarikan karena masyarakat menganggap bahwa jika tidak
melaksananaka akan mendapat hal yang tidak di inginkan. Upacara nyadran juga
mempunyai nilai yang terkandung di dalamnya yaitu nilai keagamaan.
Kata
Kunci : Tradisi Nyadran, Sejarah Nyadran, Makna Nyadran
LATAR
BELAKANG
Nyadran
merupakan suatu kearifan lokal yang sudah ada sejak jaman dahulu yang dilakukan
secara turun temurun. Upacara tradisional yang memiliki makna yang sangat dalam
sehingga masih dilestarikan karena masyarakat menganggap bahwa jika tidak
melaksananaka akan mendapat hal yang tidak di inginkan. Upacara nyadran juga
mempunyai nilai yang terkandung di dalamnya yaitu nilai keagamaan. Nilai yang
terkandung yaitu menyakini bahwa apa yang mereka dapatkan baik berupa kesehatan
ataupun kemakmuran datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu perlu adanya
ungkapan rasa syukur dengan menyempatkan diri menyisikan waktu dan hartanya
yang dalam tradisi nyadran dikemas dalam bentuk rasa syukur dengan cara
syukuran, berdoa, pengajian dan bersih-bersih makam. Terus melestarikan tradisi
nyadran ini sebagai bentuk bahwa manusia tidak boleh melupakan tradisi yang
sudah dibentuk oleh para leluhur. Tujuan yang hendak ingin dicapai dalam
pembahasan ini antara lain Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
tradisi nyadran di Yogyakarta agar masyarakata dapat mengulas kembali sejarah
dari nyadran dan dapat mengetahui nilai budaya yang dapat diambil dari tradisi
nyadran hingga saat ini.
PEMBAHASAN
SEJARAH
NYADRAN
Nyadran berasal
dari bahasa Sansekerta sraddha yang artinyakeyakinan. Nyadran adalah tradisi
pembersihan makam oleh masyarakat jawa umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa Nyadran
berasal dari kata Sadran yang artiya ruwah syakban yang di artikan sebagai suatu
rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan
di makam leluhur. Secara etimologinya nyadran dapat diartikan sebagai satu
bentuk tradisi layaknya kenduri yang menggunakan sarana tertentu yang biasanya
berwujud makanan besekan.
Dalam masyarakat
jawa, tradisi atau ritual nyadran sendiri sudah ada pada masa Hindu-Buda, jauh
sebelum agama Islam masuk. Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual
yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa
keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual
semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan
nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini
makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad
ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah
satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan
“modifikasi’ para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa. Langkah
itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap
orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadranpun menjadi media siar
agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya
Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan. Batu
nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya
dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah,
sewaktu-waktu.
PELAKSANAAN
NYADRAN
Acara nyadran
yang dilakuakan masyarakat di Yogyakarta khusunya daerah Bantul biasanya di
laksanakan ketika tanggal 15, 20, 23 sya’ban. Pemilihan tanggal biasanya
disepakati oleh masyarakat yang menyaakiani bahwa para leluhur akan turun untuk
menegok para cucunya.
Prosesi nyadran
biasanya di awali ketika malam tanggal 15 sya’ban dengan mukodaman yaitu
membaca al qur’an 30 jus. Pada Sore harinya masyarakat berkumpul di dekat makam
untuk melakukan tahlil bersama-sama.
Dengan membawa jajanan pasar dan nasi besek serta nasi gurih atau yang sering
masyarakat Yogyakarta menyebutnya dengan sego gurih, setelah itu di letakan
didepan mereka duduk. Dengan bersila dan duduk rapi dengan keluarga besar dan
masyarakat, acara di mulai dengan tahlil setelah tahlil yang dipimpin oleh
tokoh agama atau mbah kaum barulah di persilahkan mengeluarkan sedekah yang di
bawa berupa makanan seperti nasi besek dan jajanan untuk di makan bersama-sama
Sambil menikmati
Jajanan Pasar yang mereka bawa ada kaum
rois atau yang mengisi pengajian sekitar 30 menit untuk menyampaikan ceramah
yang berkaitan dengan bulan sya’ban yaitu untuk menyambut bulan ramadhan.
Ketika acara
pengajian selesai masyarakat berbodong-bondong bersama keluarga untuk masuk ke
makam untuk membersihkan makam para leluhur dan berziarah untuk melakukan doa
bersama dan menbawa bunga untuk ditaburkan di atas makam leluhur mereka.
Setelah selesai melakukan ziarah maka acara nyadran selesai.
NILAI
BUDAYA YANG DAPAT DI MAKNAI
Nilai budaya
yang dapat di maknai dalam prosesi nyadran yaitu ketika sekarang sangat kental
dengan nilai agamis yaitu bahwa saat memasuki bulan ramadhan atau puasa, mereka
harus benar-benar bersih yang antara lain diupayakan dengan cara terhadap
sesama juga, masyarakat dengan begitu masyarakat menyakini bahwa dengan saling bersilaturahmi
dan saling mendoakan para leluhur, maka masyarakat sangat dekat dengan sang
pencipta dengan hati yang bersih. Kegiatan inipun semakin mempererat
silaturahmi dengan bergotongroyong untuk menyambut nyadran yang mengandung
nilai-nilai social budaya. Jajanan pasar yang di bawa masyarakat di maknai
sebagai tempat silahturahmi kepada tetangga yaitu dengan bertuka jajanan pasar
yang mereka bawa. Nasi besek serta sego gurih dimaknai sebagai ungkapan rasa
syukur atas nikmat yang telah diberikan selama satu tahun. Dalam hal ini ziarah
kubur dapat dimaknai sebagai mengingat para leluhur dan mengajarkan kepada
generasi sekarang akan adanya leluhur dimakam tersebut. Menabur bunga di atas
makam leluhur dimaknai sebagai keharuman bunga seperti keharuman doa yang
keluar dari hati tulus.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Dari uraian
diatas dapat disumpulakan bahwa. Tradisi nyadran adalah Tradisi yang tidak
harus di tinggalkan karena tradisi nyadran untuk mengajak masyarakat berbaur,
besatu, dan menjalin silaturahim antar sesama manusia, leluhur. Menurut tradisi
nyadran saat ini yang dilakukan masyarakat adalah tradisi yang dilaksanakan
pada jaman wali songo selain mengajak masyarakat untuk sialaturahim tapi juga
untuk menjunjungtinggi nilai)nilai keagamaan. Sehingga pola pikir manusia tidak
menganggapnya sesuatu yang biasa, tetapi tradisi nyadran adalah sesuatu tradisi
yang mempunyai sakral.
Saran
Untuk menjaga
kesetabialan kepada masyarakat dalam menjalankan tradisi nyadran maka setiap
menjelang bulan Ramadhan,yaitu Sya’ban jangan melupakan, karena itu untuk
menjagamelestarikan yang diperuntukan bagi penduduk terutama yang beragama Islam.
Maka dari itu rasa saling memiliki dan tanggung jawab diterapkanoleh masyarakat
Islam sejak kecil, untuk selalu mengingat dan bersilaturahim kepada para
leluhurnya. Namun hal ini dilakaukan sesuai dengan kepercayaan pribadi masing-masing
DAFTAR PUSTAKA
Maryuni, Riska. Kebudayaan Nyadran. 2013. Url https://www.kompasiana.com/riskamaryuni/551fdefca33311e32bb672bc/kebudayaan-nyadran
Diambil dari hasil wawancara dengan Bapak Sarjana selaku kaum dari masyarakat
karangsemut.
Diambil dari wawancara Ibu Slamet selaku masyarakat
sekitar.
LAMPIRAN
Komentar
Posting Komentar