Sadranan Sebagai Bentuk Rasa Syukur Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Sadranan Sebagai Bentuk Rasa Syukur Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Oleh :
Lia Afriani (2017015300)
Kelas : 4H
Pendidikan Guru Sekolah dasar
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Abstrak
Nyadran merupakan salah satu bentuk ritual sosial keagamaan masyarakat (khususnya) Jawa, yang biasa dilakukan menjelang bulan Ramadhan. Nyadran sebagai sebuah peristiwa sejarah yang menjadi tradisi, memiliki makna filosofis yang sangat beragam bagi masing-masing komunitas warga masyarakat. Pemaknaan ritual nyadran setiap orang berbeda, tergantung dari segi mana orang memahaminya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengertian sadranan dan tujuan ritual sadranan serta mengetahui nilai-nilai yang terkandung dari kegiatan sadranan tersebut. Untuk mendapatkan gambaran menyeluruh, maka penulis mempergunakan metode induktif. Data diperoleh melalui wawancara, dan dokumentasi. Upacara sadranan yaitu merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk mengirim doa ke para leluhur. Dan juga, ritual nyadran dilakukan dengan tujuan untuk sedekah bersama kepada sesama. Kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan upacara Sadranan yang dilakukan di Desa Muneng yaitu sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, menyambut Ramadhan, berdoa unutuk meminta pengampunan bagi roh leluhur, dan memelihara hubungan sosial selama prosesi Sadranan.

Pendahuluan
Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan tersendiri yang berbeda-beda antara budaya satu dengan budaya yang lain. Contohnya seperti kebudayaan yang ada pada suku Jawa. Suku Jawa memiliki kebudayaan yang khas, dimana di dalam metode budayanya digunakan simbol-simbol sebagai sarana atau media komunikasi untuk menyampaian pesan bagi suatu komunitas atau penerusnya.
Budaya yang terdapat dalam suatu lingkungan masyarakat beraneka ragam dan bervariasi. Hal tersebut bersifat turun-temurun dari generasi ke generasi. Budaya yang sudah diyakini sejak dulu itu hingga kini dijadikan sebagai suatu hal yang harus dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Di zaman modern seperti sekarang ini, kebudayaan masyarakat Jawa yang cenderung mengandung unsur mistik tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Karena hal tersebut dianggap tidak menghormati warisan para orang terdahulu atau leluhur.
Upacara tradisional merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh masyarakat dunia. Upacara tradisional merupakan suatu kegiatan resmi yang dilakukan untuk peristiwa-peristiwa tertentu. Kegiatan tersebut mempunyai kaitan dengan sebuah kepercayaan mengenai adanya kekuatan di luar kemampuan manusia. Yang dimaksud dengan kekuatan di luar manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Sama halnya dengan kebudayaan nyadran di budaya Jawa. Nyadran merupakan sebuah upacara adat yang merupakan warisan budaya Jawa yang masih dilakukan hingga saat ini. Kegiatan upacara nyadran bertujuan untuk mengirim do’a ke para leluhur agar diberi pengampunan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Namun, pemaknaan ritual nyadran pada setiap orang berbeda-beda. pada zaman dahulu, upacara Nyadran ini masih kental dengan kepercayaan animisme. Yang mana, kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda yang ada dibumi ini memiliki jiwa yang harus dihormati agar tidak mengganggu manusia dan dapat membantu kehidupan mereka.
Nyadran telah berlangsung sejak zaman dahulu. Nyadran diambil dari kata Sadra, yang memiliki arti ziarah kubur. Nyadran merupakan salah satu tradisi tahunan yang memiliki nilai istimewa bagi masyarakat Jawa. Nyadran dilakukan secara turun temurun sebagai agenda tahunan menjelang bulan Ramadhan, bulan yang dianggap suci dan sakral. Peralatan ritual dan ubo rampe nyadran memiliki keunikan tersendiri. Nyadran awalnya dilakukan masyarakat jawa sebagai ekspresi pemujaan roh leluhur, dan setelah kehadiran Walisongo di Jawa, maka ritual pemujaan roh telah ditransformasikan ke dalam nilai-nilai budaya yang islami.

Pada penelitian ini, penulis memberikan uraian tentang makna yang terkandung dalam prosesi tradisi Sadranan di Desa Muneng, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten. Penulis akan memaparkan dan mendeskripsikan tentang tahapan-tahapan pada prosesi tradisi Sadranan berdasarkan pada observasi, dokumentasi dan wawancara. Dan juga memaparkan peralatan ritual dan ubo rampe yang digunakan pada ritual nyadran yang memiliki keunikan tersendiri.

Pembahasan
             Upacara Sadranan yang dilaksanakan satu tahun sekali yaitu mulai dari pertengahan tanggal jawa 15,22,24 dan 25 ruwah menjelang bulan puasa. Tujuannya untuk memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan dan kesejahteraan. Sebuah ritual doa menggunakan media yang dipercaya masyarakat dapat mendekatkan diri mereka dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sadranan menjelang bulan puasa selain memiliki makna doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga merupakan suatu penghargaan terhadap bulan Syakban (Jawa : Ruwah), bulan yang memiliki keistimewaan.
Pada zaman dahulu, sadranan disebut Dekahan atau sedekahan yang biasa disebut masyarakat dengan makan enak. Disebut makan enak, karena pada zaman dahulu memakan menggunakan jangan (sayur: dalam Bahasa jawa) tahu, tempe dan lain sebagainya itu sudah termasuk makanan yang mewah. Namun, jika dibandingkan dengan sekarang , makanan tersebut sudah merupakan makanan sehari-hari.
Tradisi sadranan ini tetap dipertahankan tetapi substansinya diisi dengan nilai-nilai Islam. Sadranan tidak lagi dipersembahkan kepada arwah  leluhur, tetapi merupakan sarana atau media untuk  sedekah  serta mendoakan agar arwah para leluhur bisa tentram, damai di sisi Allah SWT.

Sadranan yang dilakukan di desa Muneng, kec Jatinom Kab Klaten dilaksanakan pada tanggal 22 Ruwah. Yang mana, nyadran dilakukan mulai dari tanggal 21 malam dan 22 pagi. Dari kedua waktu tersebut, memiliki makna tersendiri. Yaitu pada tanggal 21 malam tersebut melakukan kegiatan nyadran yang dilakukan di Bangsal. Tujuan nyadran yaitu untuk mengirim doa kepada para leluhur, dan berdoa bersama untuk meminta ampunan kepada Tuhan Yang maha Esa untuk para leluhur yang telah meninggal dunia.

Sedangkan kegiatan yang dilakukan pada tanggal 22 ruwah pagi disebut dengan sebutan dekahan oleh para masyarakat sekitar. Yang memiliki arti sebagai ucapan rasa syukur terhadap Tuhan yang maha esa atas rezeki yang telah diberikan kepada umat manusia.

Prosesi nyadranan dan dekahan tidak hanya dilakukan oleh para orang tua saja. Melainkan, para pemuda hingga anak-anak juga mengikuti kegiatan doa bersama tersebut di bangsal. Pendoa hanya dilakukan oleh laki-laki saja. Sedangkan kaum wanita hanya melihat disekitar bangsal tersebut dan ikut serta dalam kegiatan berdoa.
Tradisi upaca sadranan dilaksanakan sesuai dengan tata cara pelaksanaan yang telah disepakati oleh ketua adat dan masyarakat Desa Muneng pada setiap tahunnya. Tradisi upacara Sadranan ini dilaksanakan satu tahun sekali yang melibatkan seluruh masyarakat desa Muneng, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten .
Ritual nyadran dan dekahan dimulai dengan berkumpul bersama di bangsal, lalu setelah itu para masarakat berdoa bersama dengan mmebawa ubo rampe. Setelah doa selesai, ubo rampe dibuka dan dimakan bersama di bangsal. Setelah prosesi nyadran selesai, paginya dilanjutkan dengan rutual dekahan yang dilakukan di bangsal juga. Setelah berdoa selesai ubo rampe dibuka dan dimakan bersama-sama.
Ubo rampe berisikan nasi yang dibentuk bulat-bulat besar, peyek, ikan asin atau gereh, tonto, tempe, apem, sambel pecel atau terancam, sayur tahu atau jangan tahu. Perbedaan antara nyadran dengan dekahan hanya pada saat nyadran itu tidak menggunakan jangan tahu atau sayur tahu, sedangkan pada saat dekahan tidak mengunakan apem dan sambel pecel atau terancam. Karena, apem hanya dibuat setahun sekali oleh orang Jawa, yaitu pada saat Nyadran untuk mengirim mengirim doa.
Setelah selesai melaksanakan dekahan, biasanya dilanjutkan dengan ziarah ke makam para leluhur oleh keluarga yang memeliki keluarga yang telah meninggal disarean tersebut. Yang bertujuan untuk membersihkan makam dam mengirim doa kepada leluhur untuk menyambut bulan puasa.


 Biasanya, keluarga yang sedang melaksanakan sadranan, menyiapkan hidangan untuk para tamu yang akan datang setelah melaksanankan ziarah. Setelah selesai ziarah, biasanya para peziarah berkunjung kerumah sanak saudara yang sedang melaksanakan sadranan. Hal tersebut sudah menjadi tradisi di Desa Muneng dan sekitarnya. Sehingga, apabila sanak saudara yang telah bertamu juga melakukan sadranan dihari yang berbeda, maka mereka saling bergantian untuk bertamu. Sekilas kebudayaan tersebut hampir sama dengan budaya pada saat lebaran, yaitu saling berslaturami dengan sanak saudara. Maka dari itu, kebudayaan tersebut yang sangat mengangkat budaya Jawa harus tetap diteruskan agar tidak punah pada generasi selanjutnya.
Bentuk komunikasi sosial dari tradisi upacara Sadranan ini adalah penyampaian pesan atau nasehat dari orang-orang tua zaman dahulu kepada generasi mudanya agar tetap hormat kepada arwah nenek moyang atau leluhurnya yang diharapkan berimbas kepada menghormati orang tua yang masih hidup.
Disamping itu, komunikasi sosial juga tampak ketika warga masyarakat Desa Karangturi menunjukkan aktualisasi dirinya sebagai bentuk eksistensi dengan mengikuti prosesi upacara Sadranan. Hal tersebut merupakan suatu keinginan untuk menunjukkan diri bahwa mereka pun ada dan turut aktif mengikuti rangkaian kegiatan upacara Sadranan.
Masyarakat Desa Muneng juga menunjukkan rasa nyaman, tenteram, saat berbaur tanpa terhalang oleh perbedaan kelas sosial dengan warga lainnya, dimana hal tersebut mengisyaratkan bahwa komunikasi sosial dilakukan untuk pemenuhan diri untuk merasa terhibur pada saat memupuk hubungan baik dengan sesama. Upacara Sadranan juga dijadikan sebagai wahana pergaulan sosial dimana terjadi penyampaian informasi yang melibatkan seluruh lapisan warga masyarakat Desa Muneng.
 Upacara Sadranan merupakan salah satu bentuk komunikasi sosial yang memiliki makna berupa keselarasan atau sebuah harmoni yang tercipta dalam dinamika kehidupan warga masyarakat Desa Muneng. Bagi orang Jawa keselarasan sosial atau keharmonisan merupakan sebuah rangkaian besar terjadinya kesejahteraan hidup bersama. Karena kesejahteraan terikat secara mutlak pada keselarasan sosial, antara sesama yang illahi, alam dan sesama manusia.
Pada saat penelitian, penulis berhasil menemukan fakta baru dan berhasil mengidentifikasikan mengenai terjadinya pergeseran nilai-nilai yang terkandung di dalam prosesi upacara Sadranan. Temuan fakta baru ini bermula ketika penulis sedang mewawancarai Abang kandung dari Ibu saya di Desa Muneng, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Bapak Sarno. Beliau mengemukakan bahwa ada beberapa perubahan serta perubahan makna dengan upacara Sadranan zaman dahulu, dengan upacara Sadranan masa sekarang. Sadranan pada zaman dahulu terdapat berbagai sesaji yang memang diperuntukkan bagi arwah para leluhur atau nenek moyang. Sesaji diperuntukkan bagi para arwah leluhur agar masyarakat mendapat keselamatan, kesejahteraan, dan keberkahan hidup.
Sedangkan upacara Sadranan pada masa sekarang tetap mempertahankan substansinya namun telah diisi dengan nilai-nilai Islam. Sadranan tidak lagi dipersembahkan kepada arwah para leluhur atau nenek moyang, namun merupakan sarana atau media untuk sedekah serta mendoakan arwah leluhur agar bisa tentram. Tradisi upacara Sadranan telah mengalami pergeseran nilai dan makna yaitu sebagai ziarah kubur mendoakan arwah leluhur agar memperoleh ketentraman di sisi Allah SWT. Tradisi Upacara Sadranan di Desa Muneng ini merupakan salah satu warisan budaya dari nenek moyang atau leluhur yang sampai saat ini masih rutin dilaksanakan tiap tahunnya.

Simpulan
Sadranan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mendoakan para leluhur untuk meminta pengampunan kepada TuhanYang Maha Esa. Tradisi upacara Sadranan mengalami pergeseran makna. Sadranan tidak lagi dimaknai sebagai sebuah ritual untuk memohon keselamatan serta berkah dari arwah para leluhur, melainkan upacara Sadranan dipandang sebagai media untuk memanjatkan doa keselamatan para leluhur sebagai perwujudan dinamika kebudayaan.
Bentuk komunikasi sosial dari tradisi upacara Sadranan ini adalah penyampaian pesan atau nasehat dari orang-orang tua zaman dahulu kepada generasi mudanya agar tetap hormat kepada arwah nenek moyang atau leluhurnya yang diharapkan berimbas kepada menghormati orang tua yang masih hidup. Selain itu dalam upacara Sadranan ini terdapat bentuk aktualisasi diri masyarakat sebagai wujud eksistensi diri dalam aktivitas sosial, serta memupuk hubungan yang baik antar warga. Tradisi upacara Sadranan mengandung harmoni sosial yang memiliki peranan penting dalam menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat di Desa Muneng, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten.


Sumber :
a.       Observasi langsung di desa Muneng, Kecamatan jatinom Kabupaten Klaten.
b.      Wawancara langsung kepada Abang dari Ibu Kandung penulis dengan nama Bapak Sarno.

 

Hanun Wuryansari, P. L. (2014). Sadranan Sebagai Bentuk Komunikasi Sosial. Jurnal Aspikom, 2(3). 199-204.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Sebelum Menanam dengan Ritual Tari Hudog di Kalimantan Utara

TRADISI RASULAN DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Kesenian Daerah Kuda Lumping “Embleg” di Buluspesantren