RITUAL ADAT NGANJAN SUKU DAYAK PESAGUAN SEI MELAYU RAYAK KETAPANG KALIMANTAN BARAT

RITUAL ADAT NGANJAN SUKU DAYAK PESAGUAN SEI MELAYU RAYAK KETAPANG KALIMANTAN BARAT

samrotul fadilah .u (2017015079)

Abstrak
Ritual sudah menjadi salah satu bagian dari kehidupan manusia dari zaman ke zaman. Dari masa prasejarah sampai saat ini, kegiatan ritual sangat melekat dalam setiap sendi kehidupan dan jiwa manusia yang tidak dapat terpisahkan. Menganjan adalah ritual adat yang penting bagi masyarakat suku dayak pesaguan, adat ini merupakan rangkaian terakhir dari keseluruhan ritual kematian. Keluarga yang berduka menyiapkan dan melaksanakan sebuah acara yang disebut benyaman hati atau bisa juga melaksanakan adat menganjan, sebagai tanda mengakhiri masa berkabung yang telah dilakukan semenjak kematian anggota keluarga atau disebut dengan melopasan pantang ponti 2 taba juru’ menghabisi kuning mirah sampang jeronang. Masyarakat pesaguan merupakan masyarakat yang masih memelihara atau melaksanakan kegiatan adat istiadatnya dengan baik.
Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan pesan moral yang terkandung dalam acara adat rintual nganjan suku dayak pesaguan sei melayu rayak ketapang kalimantan barat. Selain itu, untuk memperkenalkan kebudayaan suku dayak yang masih melekat sampai saat ini di kalimantan barat.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kaulitatif , subjek penelitian antara lain orang asli dayak pesaguan. Pengumpulan data dilakukan melalui metode observasi, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pesan moral yang terdapat dalam ritual nganjan sangat erat kaitannya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Pesan Moral tersebut adalah bahwa kita sebagai manusia tidak boleh cepat putus asa dalam melakukan segala sesuatu, kita harus saling tolong menolong dengan sesama, saling menghibur disaat teman, kerabat atau orang di sekitar kita sedang mengalami duka, dan kita harus bisa mengikhlaskan semua yang telah diambil kembali oleh sang Pencipta. Kata kunsi : pesan moral
PENDAHULUAN
Latar belakang
Di Indonesia terdapat banyak sekali kebudayaan yang ada. Setiap bagian pulau di seluruh Indonesia memiliki ciri khas dan keindahan budayanya masing-masing. Koentjaraningrat (2002) mengemukakan, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sebuah kelompok dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Hamidi (2005 : 24) mengemukakan, kebudayaan merupakan suatu hubungan antara budaya dan manusia yang tidak bisa dipisahkan karena kebudayaan pada hakekatnya adalah manusia. Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kebudayaan adalah sebuah komponen yang dimiliki setiap kelompok masyarakat yang sudah ada sejak dahulu. Seperti kebudayaan yang ada di salah satu pulau di pesisir sungai Pesaguan Kalimantan Barat. Budaya yang turun temurun dilakukan yaitu Adat Menganjan atau Nganjan.
Menganjan adalah ritual adat yang penting bagi masyarakat Dayak Pesaguan. Adat ini merupakan rangkaian terakhir dari keseluruhan ritus kematian. Keluarga yang berduka akan menyiapkan dan melaksanakan sebuah acara yang disebut benyaman hati atau bisa juga melaksanakan adat menganjan, sebagai tanda mengakhiri masa berkabung yang telah dilakukan semenjak kematian anggota keluarga; atau disebut melopasan pantang ponti 2 taba juru’ menghabisi kuning mirah sampang jeronang. Masyarakat Pesaguan merupakan masyarakat yang masih memelihara adat istiadatnya dengan baik.
Dalam acara Nganjan tersebut, ada salah satu rangkaian acara yang sangat digemari dan ditunggu-tunggu terutama oleh para remaja-ramaja, yaitu Bedansai. Bedansai yang berarti ‘Menari’ merupakan suatu tarian atau gerakan yang dilakukan beramai-ramai dan membuat sebuah lingkaran besar. Seperti bermain ular naga panjang, yaitu kedua tangan di pundak orang yang ada di depannya. Gerakan-gerakannya pun tidak terlalu sulit dilakukan, dan biasanya para pelaku tari bedansai ini akan menyanyi lalu mengikuti musik yang ada. Tarian ini dilakukan selama acara berlangsung, bisa siang, sore, ataupun malam. Bahkan jika mampu, tarian ini bisa ditarikan semalaman. Dalam Bedansai sebenarnya menggambarkan suatu kegembiraan setelah mengalami masa berkabung.
Jika kita melihat lebih jauh lagi, ada kebudayaan daerah yang bisa menjadi motivasi dan menjadi sarana hiburan, setidaknya untuk mengurangi rasa sedih, rasa kesal, rasa kecewa, bahkan putus asa. Contohnya Bedansai, termasuk rangkaian ritus kematian yang biasanya penuh dengan tangis kesedihan dari pihak keluarga. Namun Bedansai lebih menunjukkan kebahagiaan dan kesenangan, tidak terlihat adanya kesedihan, setiap orang yang ikut menari menikmati gerakan, suara musik dan nyanyian yang ada.
Tarian Bedansai ini hanya digunakan dalam ritual Adat Nganjan saja, jarang digunakan untuk acara perkawinan dan syukuran, padahal tarian ini menggambarkan kebahagiaan. Terdapat pesan moral yang ingin disampaikan dalam Bedansai. Dan karena ini merupakan salah satu kebudayaan yang menarik dan yang masih belum dikenal oleh masyarakat luar Dayak Pesaguan. Peneliti ini dilakukakan sewaktu berumur 16 tahun, mengikuti acara Nganjan dan melakukan tarian Bedansai bersama teman-teman sebaya. Dari situ merasa sangat gembira, dan ingin selalu mengulangi tarian tersebut. Dari seluruh rangkaian acara Nganjan, yang sangat ditunggu-tunggu dan yang paling banyak penonton dan para penari adalah pada saat Bedansai, sangat terlihat kegembiraan yang terpancar dari tarian tersebut sehingga menumbuhkan semangat bagi para penonton dan para penari. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bagaimana sejarah dan apa saja pesan yang disampaikan dalam Bedansai, hal ini menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian tentang Bedansai, agar masyarakat lebih mengenal lagi tentang Bedansai.
Acara adat ini bertujuan untuk mengantarkan arwah nenek moyang yang belum sampai kesurga menuju alam keabadian dan sebagai tanda mengakhiri masa berkabung yang telah dilakukan semenjak kematian anggota keluarga

PEMBAHASAN
            Seni adalah segala macam keindahan yang diciptakan oleh manusia. Seni telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari manusia, baik bagi dirinya sendiri maupun dalam bermasyarakat. Seni berhubungan dengan ide atau gagasan dan perasaan manusia yang melakukan kegiatan berkesenian. Seni menurut pandangan Sumardjo (2000 : 4) mengatakan bahwa seni merupakan ungkapan perasaan yang dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar, maupun dilihat dan didengar. Dengan kata lain, seni adalah isi jiwa seniman (pelaku seni) yang terdiri dari perasaan, pikiran dan gagasannya. Selanjutnya menurut Banoe (2003 : 219), kesenian adalah karya indah yang merupakan hasil budidaya manusia dalam memenuhi kebutuhan jiwanya.
Tarian Bedansai ini hanya digunakan dalam ritual Adat Nganjan saja, jarang digunakan untuk acara perkawinan dan syukuran, padahal tarian ini menggambarkan kebahagiaan. Terdapat pesan moral yang ingin disampaikan dalam Bedansai. Dan karena ini merupakan salah satu kebudayaan yang menarik dan yang masih belum dikenal oleh masyarakat luar Dayak Pesaguan. Peneliti ini dilakukakan sewaktu berumur 16 tahun, mengikuti acara Nganjan dan melakukan tarian Bedansai bersama teman-teman sebaya. Dari situ merasa sangat gembira, dan ingin selalu mengulangi tarian tersebut. Dari seluruh rangkaian acara Nganjan, yang sangat ditunggu-tunggu dan yang paling banyak penonton dan para penari adalah pada saat Bedansai, sangat terlihat kegembiraan yang terpancar dari tarian tersebut sehingga menumbuhkan semangat bagi para penonton dan para penari. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bagaimana sejarah dan apa saja pesan yang disampaikan dalam Bedansai, hal ini menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian tentang Bedansai, agar masyarakat lebih mengenal lagi tentang Bedansai
           Dalam Bedansai gerak yang digunakan berpijak pada gerak Dayak Pesaguan Kalimantan Barat yang mana gerakan tersebut merupakan gerak yang tidak terlalu sulit untuk dilakukan, mudah untuk di ingat dan pada gerak Bedansai ini lebih dominan gerakan kaki daripada gerakan tangan. Dengan membentuk sebuah lingkaran besar di lapangan atau di 11 halaman rumah, para penari Bedansai akan bersiap-siap untuk melakukan tarian ini. Dengan posisi seperti bermain ular naga panjang, posisi tangan di punggung orang di depannya. Gerakan kaki seperti melangkah dan sedikit melompat berjalan kedepan, kadang gerakan kaki tersebut dilakukan satu putaran. Kemudian biasanya dengan gerakan kaki kiri di angkat seperti menendang ke arah luar dan kaki kanan sebagai tumpuan, gerakan itu dilakukan bergantian antara kaki kiri dan kanan. dan tangan tetap berada di atas punggung orang di depannya.

         Dalam Bedansai ini, musik yang dimainkan termasuk musik yang rampak atau yang cukup bersemangat. Dengan alat-alat musik yang digunakan seperti gendang, bedug, gong gerantong, bonang, dan kekansik. Para pemusik akan bermain alat musik dan juga sambil bernyanyi. Dan terkadang jika para pemusik tidak bernyanyi maka giliran para penari yang akan bernyanyi sambil menari.
       Ritual adat atau bisa dibilang upacara adat adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat, antara lain, upacara penguburan, 12 upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku.
   Upacara adat adalah suatu upacara yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku di suatu daerah. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, kata-kata seperti "amin" dan sebagainya.
          Pada masyarakat Dayak Pesaguan sendiri adat istiadat masih sangat dipelihara dan dijaga dengan baik. Dalam kehidupan seharihari masih berpatokan pada norma-norma dan aturan adat. Dewan adat dalam suatu kampung yang dipimpin oleh seorang Domong Adat, berfungsi dengan sangat baik di tiap kampung. Berdasarkan jenisnya, adat Pesaguan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni: Adat dalam bidang kehidupan, adat dalam bidang kematian, dan adat sehubungan dengan hukum atau hukum adat. Ketiga jenis adat lokal ini memiliki hubungan satu sama lain yang tidak terlepaskan, karena menjadi semacam ‘pusat’ dalam kehidupan seluruh lapisan masyarakat.
            Adat Kehidupan Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Pesaguan tradisional patuh dan sabar akan adanya aturan-aturan ataupun kekuatan yang melingkupi kehidupan mereka. Kekuatankekuatan tersebut kemudian mewujudkan norma-norma dalam 13 pergaulan (hubungan dengan sesama) dan hubungan dengan alam semesta. Upacara adat ini dapat digolongkan salah satunya adalah upacara dalam rangkaian kehidupan seorang manusia, ritus-ritus bagi seorang manusia mulai lahir sampai kehidupan dewasanya.
            Adat Kehidupan Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Pesaguan tradisional patuh dan sabar akan adanya aturan-aturan ataupun kekuatan yang melingkupi kehidupan mereka. Kekuatankekuatan tersebut kemudian mewujudkan norma-norma dalam 13 pergaulan (hubungan dengan sesama) dan hubungan dengan alam semesta. Upacara adat ini dapat digolongkan salah satunya adalah upacara dalam rangkaian kehidupan seorang manusia, ritus-ritus bagi seorang manusia mulai lahir sampai kehidupan dewasanya.
              Masyarakat Dayak Pesaguan adalah kelompok masyarakat yang menyebut diri mereka sebagai orang (Dayak) Pesaguan Sekayu’. Mereka tinggal di sepanjang Sungai Pesaguan bagian hulu dan sekitarnya, termasuk juga anak-anak sungainya. Sebagian besar wilayah aliran sungai yang berhulu di Pegunungan Schwaner ini, berada dalam wilayah Kecamatan Tumbang Titi, Lalang Panjang, dan Sungai Melayu Raya’, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Kelompok masyarakat Pesaguan ini terdiri dari beberapa kelompok kecil,

yang memiliki bahasa yang sama dengan beberapa perbedaan dialek. Orang Pesaguan juga memiliki sejarah, tradisi, adat-istiadat, serta hukum adat yang memiliki kesamaan. Menurut pembagian yang dicatat oleh Tjilik Riwut (1979 : 213-229), Lontaan, dan sebagian penulis tentang Dayak, masyarakat Pesaguan termasuk dalam kelompok (yang disebut oleh H.J Mallincrodt, seorang controleur Belanda, dengan istilah stammenras) Klamantan atau Dayak Darat.
        Menganjan adalah ritual adat yang penting bagi masyarakat Dayak Pesaguan. Adat ini merupakan rangkaian terakhir dari keseluruhan ritus kematian. Keluarga yang berduka akan menyiapkan dan melaksanakan sebuah acara yang disebut benyaman hati atau bisa juga melaksanakan adat menganjan, sebagai tanda mengakhiri masa berkabung yang telah dilakukan semenjak kematian anggota keluarga; atau disebut melopasan pantang ponti 2 taba juru’ menghabisi kuning mirah sampang jeronang. Masyarakat Pesaguan merupakan masyarakat yang masih memelihara adat istiadatnya dengan baik. Dalam kehidupan sehari-hari masih berpatokan pada normanorma dan aturan adat. Dewan adat dalam suatu kampung yang dipimpin oleh seorang Domong Adat, berfungsi dengan sangat baik. Menganjan selalu dilakukan setiap tahun dan merupakan acara yang besar. Acara ini bebas dihadiri siapa saja dan tidak memerlukan undangan, terkecuali para tokohtokoh adat yang memang menjadi tamu utama.

           Tradisi ritual suku dayak seperti nganjan yaitu ritual yang menyakini bahwa arwah nenek moyang belum sampai kesurga maka mereka perlu mengantar menuju alam keabadian.
Dalam acara ngajan dilaksanakan setelah orang meninggal sekitar 5 tahun atau dari pihak keluarga siap untuk melakukan pengataran arwah yang sudah meninggal. Pelaksanaan nganjan dilakukan dalam waktu 3 hari 2 malam dengan diiringi Tarian Bedansai ini hanya digunakan dalam ritual Adat Nganjan saja, jarang digunakan untuk acara perkawinan dan syukuran, padahal tarian ini menggambarkan kebahagiaan. Terdapat pesan moral yang ingin disampaikan dalam Bedansai. Dan karena ini merupakan salah satu kebudayaan yang 4 menarik dan yang masih belum dikenal oleh masyarakat luar Dayak Pesaguan. Peneliti ini dilakukakan sewaktu berumur 16 tahun, mengikuti acara Nganjan dan melakukan tarian Bedansai bersama teman-teman sebaya. Dari situ merasa sangat gembira, dan ingin selalu mengulangi tarian tersebut. Dari seluruh rangkaian acara Nganjan, yang sangat ditunggu-tunggu dan yang paling banyak penonton dan para penari adalah pada saat Bedansai, sangat terlihat kegembiraan yang terpancar dari tarian tersebut sehingga menumbuhkan semangat bagi para penonton dan para penari. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bagaimana sejarah dan apa saja pesan yang disampaikan dalam Bedansai, hal ini menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian tentang Bedansai, agar masyarakat lebih mengenal lagi tentang Bedansai.


        Pesan Moral Pesan adalah sebuah perintah, nasihat, permintaan, amanat yang harus dilakukan atau disampaikan kepada orang lain. Pengertian nilai menurut Bertens (1993), nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi orang. Sesuatu yang dicari, sesuatu yang disukai dan sesuatu yang menyenangkan, singkatnya sesuatu yang baik. Di sini, nilai difungsikan untuk mengarahkan, mengendalikan, dan menentukan kelakuan seseorang, karena nilai dijadikan standar perilaku. Menurut Dictionary dalam Winataputra (1989), nilai adalah harga atau kualitas sesuatu. Artinya, sesuatu dianggap memiliki nilai apabila sesuatu tersebut secara instrinsik memang berharga. Pengertian moral, menurut Suseno (1987) adalah ukuran baik-buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun 10 sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah pendidikan untuk menjadaikan anak manusia bermoral dan manusiawi. Walaupun moral itu berada dalam diri individu, tetapi moral berada dalam suatu sistem yang berwujut aturan.
            Moral dan moralitas memiliki sedikit perbedaan, karena moral adalah prinsip baikburuk sedangkan moralitas merupakan kualitas pertimbangan baikburuk. Dengan demikian, hakekat dan makna moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral dalam mematuhi maupun menjalankan aturan. Dalam Tari Bedansai ini ada pesan yang ingin disampaikan melalui gerak, syair dan musik. Pesan yang disampaikan merupakan pesan moral kepada kita para manusia agar tidak mudah berputus asa, dan tidak mudah kecewa. Dalam kehidupan sehari-hari memang banyak cobaan yang membuat kita sedih, marah, kecewa bahkan putus asa. Tapi dalam menghadapi cobaan tersebut kita terkadang sulit untuk mengontrol emosi dan tidak jarang kita akan mengambil jalan pintas yang pada akhirnya merugikan diri sendiri.

PENUTUP
Kesimpulan
Menganjan adalah ritual adat yang penting bagi masyarakat Dayak Pesaguan. Adat ini merupakan rangkaian terakhir dari keseluruhan ritus kematian. Keluarga yang berduka akan menyiapkan dan melaksanakan sebuah acara yang disebut benyaman hati atau bisa juga melaksanakan adat menganjan, sebagai tanda mengakhiri masa berkabung yang telah dilakukan semenjak kematian anggota keluarga; atau disebut melopasan pantang ponti 2 taba juru’ menghabisi kuning mirah sampang jeronang
Tradisi ritual suku dayak seperti nganjan yaitu ritual yang menyakini bahwa arwah nenek moyang belum sampai kesurga maka mereka perlu mengantar menuju alam keabadian Dalam acara ngajan dilaksanakan setelah orang meninggal sekitar 5 tahun atau dari pihak keluarga siap untuk melakukan pengataran arwah yang sudah meninggal. Pelaksanaan nganjan dilakukan dalam waktu 3 hari 2 malam dengan diiringi Tarian Bedansai ini hanya digunakan dalam ritual Adat Nganjan saja, jarang digunakan untuk acara perkawinan dan syukuran, padahal tarian ini menggambarkan kebahagiaan.
Tarian Bedansai ini hanya digunakan dalam ritual Adat Nganjan saja, jarang digunakan untuk acara perkawinan dan syukuran, padahal tarian ini menggambarkan kebahagiaan. Terdapat pesan moral yang ingin disampaikan dalam Bedansai
Saran
Menurut pendapat saya kepada pemerintah kecamatan sei melayu rayak sudah bagus untuk melestarikan kebudayaan ritual nganjan. Namun, alangkah lebih baik lagi jika acara Nganjan ini bisa ddi publikasikan lebih luas sehingga menarik perhatian para masyarakat yang mungkin masih belum mengenal acara ritual nganjan ini.


SUMBER/ REFERENSI
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : P.T. Rineka Cipta
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta : Gramedia.
Narasumber : Florensius Handoko


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Sebelum Menanam dengan Ritual Tari Hudog di Kalimantan Utara

TRADISI RASULAN DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Kesenian Daerah Kuda Lumping “Embleg” di Buluspesantren