PADUSAN TRADISI UNTUK MENYAMBUT BULAN RAMADAN di SENDANG PENGASIH, BANTUL, YOGYAKARTA

PADUSAN
TRADISI UNTUK MENYAMBUT BULAN RAMADAN di
SENDANG PENGASIH, BANTUL, YOGYAKARTA

Oleh : Alang Chairawan (2017015149)
Prodi PGSD, FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Jl. Batikan Tuntungan Yogyakarta

ABSTRAK
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif, dengan judul “Padusan Tradisi Untuk Menyambut Bulan Ramadan di Sendang Pengasih, Bantul, Yogyakarta.”. Padusan adalah sebuah tradisi yang dilakukan dengan cara berendam atau mandi di suatu sumber mata air yang terdapat di masyarakat Jawa dengan tujuan untuk membersihkan tubuh serta jiwa untuk menyongsong ibadah dibulan ramadan. Asal mula tradisi padusan bermula dari cerita masa penyebaran agama Islam oleh para wali songo. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, menjelaskan dan memaparkan tentang: 1). Apa pengertian dari padusan, 2). Sejarah dari padusan, dan 3). Mengkaji nilai filosofis yang terkandung dari tradisi padusan serta 4). Relevansi padusan dulu dan kini. Adapun metode yang digunakan untuk mengumpulkan data melalui wawancara dan dilengkapi dengan pengumpulan data melalui studi pustaka.
Kata kunci: Padusan, Tradisi Ramadan, Sendang Pengasih

PENDAHULUAN
Menyambut datangnya bulan ramadan masyarakat memiliki berbagai tradisi untuk menyongsong datangnya bulan suci bagi umat islam. Bulan ramadan di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yang tidak akan ditemui di belahan negara lainnya, berbagai acara yang dilakukan khusunya oleh masyarakat Jawa dalam menyambut sekaligus menghormati datangnya bulan suci ramadan yang memberikan tambahan kekayaan kultural yang dimilkiki oleh bangsa Indonesia. Berbagai tradisi muncul untuk mewarnai datangnya bulan ramadan, tradisi yang berkembang atau telah terjadi turun temurun antar generasi memiliki nilai sejarah dan filosofis yang erat kaitannya dengan nilai luhur masyarakat sekitar dan perpaduan ajaran agama Islam. Kebiasaan atau tradisi yang telah menjadi bagian dari masyarajat dalam menyambut bulan ramadan seperti, nyadran, dugdugderan dan padusan. Tradisi padusan adalah salah satu kebiasaan untuk menyambut bulan suci Ramadan yang telah berlangsung turun temurun antar generasi.
Padusan di berbagai daerah memiliki perbedaan baik dari segi tempat pelaksanaan ataupun tatacaranya, Namun secara garis besar tradisi padusan memiliki esensi yang sama yakni mensucikan diri menjelang bulan ramadan. Padusan di Sendang Pengasih merupakan tradisi tahunan yang dilakukan warga sekitar Bantul. Sendang Pengasihan merupakan sumber mata air yang diyakini merupakan temoat persinggahan Sunan Kalijaga, maka sumber mata air ini memiliki nilai historis, nilai sakral yang kaitannya sangatlah erat dengan nilai teologis agama Islam. Menjelang bulan ramadan Sendang Pengasih menjadi tujuan masyarakat khususnya dari Bantul yang ingin melaksanakan padusan (Gambar 1.).




 PEMBAHASAN
A.    Hakikat Tradisi Padusan
Kata “padusan” berasal dari bahasa Jawa, yakni “adus” yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti mandi. Padusan merupakan suatu kegiatan membersihkan diri dengan cara mandi di sumber mata air yang dianggap oleh masyarakat sekitar meimiliki nilai sakral atau suci. Padusan sendiri diikuti oleh berbagai macam golongan usia mulai dari anak-anak, remaja, dan orangtua semua bersama-sama berkumpul di sumber mata air bertujuan untuk menyambung datangnya bulan suci ramadan. Padusan mempunyai tujuan untuk mensucikan diri sebagai persiapan lahir dan batin dalam rangka menyongsong ibadah bulan Ramadan.
Padusan dipandang sebagai suatu tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun yang merupakan manifestasi simbol rasa syukur  karena telah diberi umur panjang oleh Allah SWT dan diberi kesempatan untuk menjalankan ibadah puasa di bulan ramadan. Lebih dari itu ungkapan rasa syukur ini diwujudkan dengan berbagai tradisi yang bersifat atau mendekatkan diri kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia yang telah diberikan selama ini, tak heran tradisi menje;ang bulan ramadan yang berlangsung lebih sering berwujud sedekah bumi serta sesama manusia (nyadran), dan padusan yang merupakan wujud  ungkapan rasa syukur atas ketersediaan air sebagai komponen utama kehidupan.
 Dengan padusan diharapkan setiap insan yang melakukan prosesi padusan dapat lebih mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT dan mampu menjadi yang lebih baik dalam menghadapi ibadah puasa yang mewajibkan insan senantiasa menjaga emosi dan tutur kata. Padusan sendiri selain memiliki makna untuk mensucikan diri dapat juga dimakanai sebagai sarana membuang perilaku buruk selama ibadah puasa berlangsung.



 Tradisi padusan yang dilakukan di sumber mata air secara langsung akan menimbulkan komunikasi serta interaksi antar warga untuk saling memperat rasa kebersamaan, persaudaraan dalam semangat religious menyambut bulan ramadan, selain itu padusan yang terjadi di banyak tempat turut meleburkan seluruh penyakit hati seperti dendam dan amarah sebelum memasuki ibadah puasa.

B.     Sejarah Padusan
Bila dirunut sejarahnya tradisi padusan sendiri bermula dari jaman penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Pada masa itu mayoritas penduduk Jawa yang masih beragama Hindhu Budha akan sulit menerima agama Islam jika hanya penyebaranya tanpa dipadukan dengan tradisi yang sudah ada. Demi penyebaran agama Islam di tanah Jawa para wali songo khusunya Sunan Kalijaga menggunakan metode penyebaran agama Islam melalui akulturasi kebudayaan yang telah ada dimasyarakat dengan perpaduan nilai-nilai teologis agama Islam. Padusan sendiri pada awalnya adalah sebuah ritual yang dilakukan untuk mensucikan diri, dan oleh para wali songo dipadukan dengan mandi besar atau mandi wajib. Konsep ini akan mudah diterima oleh masyarakat yang telah lazim dengan ritual ruwatan sungai tanpa  menghilangkan atau terjadinya culture shock hal ini akan memperkenalkan serta mempermudah pemahaman masyarakat awam untuk mengatahui mengenai konsep mandi wajib atau mandi besar dalam agama Islam. Padusan pada mulanya dilengkapi dengan ubo rampe yang beraneka macam, sebagai contoh tradisi padusan yang saat ini masih terjaga kelestraiannya di kabupaten Boyolali yang dilaksanakan di Umbul Ngabean yang tak lain adalah bangunan peninggalan Pakubuwono X yang merupakan raja Kraton Surakarta.
Tradisi padusan sendiri tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam, dalam perkembangannya tradisi padusan kini tidak hanya dilaksankan di sumber mata air yang dianggap sakral melainkan sudah terjadi pergeseran pemaknaan tempat padusan yang semula di sakralkan perlahan-lahan padusan terjadi di banyak tempat, seperti  kolam renang atau tempat wisata pemandian umum. Memang hingga kini tradisi padusan sebelum bulan ramadan masih eksis di masyarakat Jawa, namun yang perlu diperhatikan adalah esensi nilai dari padusan tersebut apakah generasi muda mengetahui bagaimana sejarah serta nilai filosofis dari padusan ataukah generasi muda hanya sekedar melaksanakan “adus” semata. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh penulis telah terjadi pergeseran makna yang sebenarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan perilaku remaja mengisi padusan yang hanya bertujuan untuk menonton lawan jenis.

C.    Nilai Filosofis Padusan
Seperti yang telah dipaparkan pada sebelumnya kata padusan yang berasal dari kata adus yang berarti mandi. Pemaknaan adus atau mandi secara harfiah adalah membersihkan diri melalui kegiatan membersihkan tubuh dengan air dengan cara menyiramkan air keseluruh bagian tubuh. Padusan sendiri mewajibkan orang untuk mengawali prosesi padusan dengan niat untuk mensucikan diri, berendam serta membasuh seluruh tubuh, dan mengguyur kepala sembari keramas. Dari setiap prosesi terdapat makna yang terjandung didalamnya, pada tahap niat memiliki makna bahwa segala tujuan padusan hendaknya untuk membersihkan diri, mensucikan diri guna menyambut datangnya bulan ramadan serta meluruskan niat untuk mencari ridho Allah SWT, kemudian pada tahapan membasuh bagian tubuh serta berendam dapat dimaknai sebagai suatu proses yang lekat dengan membersihkan kebathilan yang ada didalam tubuh sehingga setiap indvidu diharapkan dapat melaksanakan berbagai ibadah dibulan ramadan dengan penuh kebersihan diri, dan yang terakhir keramas dapat dimaknai sebagai sarana pembersih kepala baik secara fisik maupun pikiran yang hendaknya dalam bulan ramadan setiap insan mampu menjaga pola pikir dan nafsu keduniawian sehingga fokus melaksanakan ibadah. Dengan dilaksankannya padusan sesuai dengan nilai filosofis yang terkandung didalamnya dihrapkan seseorang telah siap baik jiwa raga dan secara batin untuk menunaikan kewajiban beribadah di bulan ramadan.
Dari segi pelaksanaan serta pemaknaan padusan tidak dapat dipisahkan dengan perspektif  ajaran agama Islam, menurut ketua PCNU Kota Surabaya, Muhibbin Zuhri yang dikutip dari laman Okezone “Yang pertama tidak apa dipakai. Nama-nama tidak harus ada dalam hadist atau Alquran. Kedua soal cara, catatannya asal tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan syariat. Misalnya dalam hal ini tidak menunjukkan atau menampakkan aurat pada yang lain, maka itu boleh. Tapi kalau ada unsur muharromat atau yang diharamkan seperti terbuka aurat laki-laki dan perempuan, itu jelas haram," ujar Muhibbin. Jadi pada intinya pelaksanaan padusan ini perlu diperhatikan atau secara konteks menyucikan fisik (raga) dan jiwa (rohani) dengan cara mandi dan berdoa hanya kepada Allah SWT maka tradisi padusan ini tidak menjadi suatu masalah yang perlu diperdebatkan.

D.    Relevansi Padusan Dulu dan Kini
Tradisi padusan dulunya dilakukan dengan mengambil air dari ttujuh sumber mata air, namun kini terjadi pergeseran makna yang berubah drastis. Dulu pelaksanaan padusan sangat erat kaitannya dengan nilai sakral serta religious dan dilaksanakan di tempat yang sepi dan seorang diri. Karena nilai atau esensi dari padusan sendiri adalah untuk intropeksi jiwa dari segala perbuatan yang telah dilakukan di masa lalu.
Akan tetapi kini padusan hanya menjadi wisata bersama sanak keluarga, teman dan hanya enjadi ajang untuk mandi secara ramai-ramai tanpa mengetahui nilai serta esensi yang terkandung didalamnya. Namun tentunya hal itu tidak selalu berdampa negated bagi masyarakat. Kegiatan padusan sekarang ini telah membawa dampak ekonomis bagi para pengelola tempat wisata air. Berbeda halnay dengan tradisi padusan di Sendang Pengasihan. Menurut penuturan juru kunci Bapak Yudaryanto (Gambar 2.) walaupun padusan telah mengalami pergesaran makna tetapi pelaksanaannya di Sendang Pengasih tetap mengedepankan nilai unggah-ungguh serta menghormati sendang sebagai tempat yang sakral (Gambar 1 dan 3).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa padusan merupakan suatu kegiatan membersihkan diri dengan cara mandi di sumber mata air yang dianggap oleh masyarakat sekitar meimiliki nilai sakral atau suci. Pelaksanaan padusan dilaksanakan sebelum bulan ramadan dan tidak bertentangan dengan nilai ajaran Islam dengan tetap memperhatikan beberapa syarat.
Dari hasil penelitian yang dilakukan diharapkan masyarakat Jawa khusunya generasi muda atau remaja lebih dapat menghargai dan memahami nilai sejarah dan filosfis dari Tradisi padusan sehingga kesesuaian makna dan pelaksanaan dapat terjadi kesinambungan dengan tradisi padusan yang diwariskan oleh leluhur.

REFERENSI
Ayyana. 2012. Mengenal Wisata Sejarah di Yogyakarta.
Yogyakarta: Jalasutra.
https://news.okezone.com/read/2019/05/03/519/2051293/padusan-tradisi-jelang-ramadan-hukumnya-menurut-pandangan-islam
Sari, Dianing. 2015. Tradisi Ramadan di Nusantara. Jakarta: Tempo Publishing.
Wawancara dengan juru kunci Sendang Pengasihan, Bpk. Yudaryanto



DOKUMENTASI

                   Gambar 1. (Suasana Padusan di Sendang Pengasihan pukul 09.30)

               Gambar 2. (Bapak Yudaryanto juru kunci Sendang Pengasihan)

                 Gambar 3. (Unggah-ungguh perilaku di Sendang Pengasihan)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TRADISI RASULAN DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Tradisi “Kondangan Rayahan” Di Dusun Bapangan Rw 08, Karangtalun, Karangdowo Klaten, Jawa Tengah

Kesenian Daerah Kuda Lumping “Embleg” di Buluspesantren