MUANG JONG (SELAMATAN LAUT)
MUANG JONG
(SELAMATAN LAUT)
Fergy vanida(2017015046)
Abstrak
Muang jong adalah upacara tradisi membuang sial dari suku
Ameng Sewang atau disebut juga Orang Sawang yang berarti orang laut disebut
juga dengan Orang “Sekak”. Sebutan “Sekak” muncul terutama pada masa penjajahan
Belanda. Sekak artinya kelompok orang yang
sulit berinteraksi dengan kelompok suku bangsa lain. Sebutan itu, sayangnya
merugikan bagi orang Sawang sendiri pada masa itu karena dianggap sebagai orang
yang kolot, tidak mau bergaul, menyendiri, bahkan dianggap primitive. Apalagi
hal itu didukung dengan adat budaya masyarakat setempat yang masih menjalankan
tradisi animisme dinamismenya. Pelaksanaan Muang Jong sendiri disebut sebagai
upacara buang jung oleh orang Sawang. Upacara ini diadakan setiap tahun sebagai
upaya rasa syukur masyarakat Sawang terhadap berkah dari Tuhan yang
diberikanNya lewat laut. Muang Jong atau juga disebut dengan “buang patong” ini
merupakan tradisi masyarakat Sawang yang sangat sakral sama dengan tradisi
larung laut di Yogyakarta.Tradisi Muang Jong
dilakukan untuk mencapai keselamatan manusia terutama masyarakat suku laut,
Orang Sawang ini. Upacara dan makna upacara ini menyatu dengan masyarakat
setempat, sehingga tanpa upacara ini, masyarakat Sewang merasa tidak lengkap.
Tradisi Muang Jong dilaksanakan secara rutin pada musim tanggare pute atau pada
musim pancaroba.
1.
Pendahuluan
Pada harkikatnya,
manusia hidup bermasyarakat diatur oleh suatu aturan, norma, pandangan,
tradisi, atau kebiasaan-kebiasaan tertentu yang mengikatnya, sekaligus
merupakan cita-cita yang diharapkan untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu
yang sangat didambakannya. Aturan, norma, pandangan, tradisi, atau
kebiasaan-kebiasaan inilah yang mewujudkan suatu sistem tata nilai untuk
dilaksanakannya masyarakat pendukung, yang kemudian membentuk adat-istiadat
(Darmoko, 2002). Adat istiadat merupakan suatu kompleks normanorma yang oleh
individu-individu yang menganutnya dianggap ada di atas manusia yang hidup
bersama dalam kenyataan suatu masyarakat (Koentjaraningrat, 1969). Upacara adat
(customary ritual) adalah kegiatan
sosial yang melibatkan warga masyarakat dalam usaha bersama untuk mencapai
tujuan keselamatan bersama. Upacara-upacara yang berhubungan dengan adat suatu
masyarakat, merupakan sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh
adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai
macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan
(Soekanto, 1990). Upacara adat sebagai pranata sosial penuh dengan
simbol-simbol yang berperan sebagai alat media untuk berkomunikasi antara
sesama manusia, dan juga menjadi penghubung antara dunia nyata dengan dunia
gaib (Achroni, 2008). Upacara Muang jong merupakan salah satu upacara adat yang
secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Suku Sekak di pulau Belitung.
Upacara ini diadakan karena adanya keyakinan dan kepercayaan masyarakat Suku
Sekak terhadap Dewa Laut dan adanya kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari
dunia adikodrati. Upacara ini merupakan refleksi dari keinginan untuk hidup
harmonis dengan alam, sehingga para nelayan percaya bahwa jika mereka
memperlakukan laut dengan tidak baik maka laut akan marah kepada mereka
sehingga kehidupan sosial-budaya terganggu. Upacara adat Muang jong diadakan
setahun sekali, yaitu waktu menginjak bulan purnama pada bulan ganjil,
kira-kira jatuh pada bulan April atau Juli atau September atau menurut
perhitungan penanggalan cina pada bulan kelima bertepatan pada musim angin
tenggara yang sangat kencang. Tradisi Muang Jong
dilaksanakan setiap tahun dengan tujuan sebagai sarana untuk memohon diberikan
perlindungan dan keselamatan bagi siapapun yang mencari nafkah di laut. Ritual
bahari ini dapat menjadi bagian dari ungkapan rasa syukur, tolak bala, dan
berbagai kasih sayang dengan makhluk penghuni laut lainnya. Acara ini juga
menjadi salah satu daya tarik wisata dan menjadi ajang acara silaturahmi. Acara
ini menjadi bagian dari acara kumpul bersama sambil menikmati rangkaian tarian
yang menjadi bagian dari upacara Muang Jong. Pertunjukan tari itu antara lain
tari adat Ancak, Mancing Ikan, Numbak Duyung, Sampan Ngeleng, Gajah Manunggang,
Mate Angin dan lain-lain
2.
Pembahasan
Muang jong adalah upacara tradisi membuang sial dari suku
Ameng Sewang atau disebut juga Orang Sawang yang berarti orang laut disebut
juga dengan Orang “Sekak”. Sebutan “Sekak” muncul terutama pada masa penjajahan
Belanda. Pelaksanaan Muang Jong sendiri
disebut sebagai upacara buang jung oleh orang Sawang. Upacara ini diadakan
setiap tahun sebagai upaya rasa syukur masyarakat Sawang terhadap berkah dari
Tuhan yang diberikan lewat laut. Tradisi Muang
Jong dilakukan untuk mencapai keselamatan manusia terutama masyarakat suku
laut, Orang Sawang ini. Upacara dan makna upacara ini menyatu dengan masyarakat
setempat, sehingga tanpa upacara ini, masyarakat Sewang merasa tidak lengkap.
Tradisi Muang Jong dilaksanakan secara rutin pada musim tanggare pute atau pada
musim pancaroba. Penyelenggaraan
upacara diadakan di perkampungan Suku Sekak, di sekitar laut di mana mereka
hidup, seperti di desa senyubuk, Kecamatan Kelapa Kampit, Kabupaten Belitung
Timur. Pelaksanaan upacara adat Muang jong diadakan di pinggir pantai dan
kemudian menuju laut bebas. Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara Muang jong
adalah seluruh masyarakat Suku Sekak. Upacara Buang jung dilaksanakan dengan
tujuan untuk menyampaikan persembahan kepada Dewa Laut, agar kiranya Dewa Laut
memberikan isi laut (berupa ikan, lumut laut dan hasil-hasil laut lannya)
kepada mereka, dengan memohon kepada Dewa Laut agar mereka terhindar dari
segala macam balak (malapetaka) dan kemelaratan, upacara ini juga merupakan
hiburan, karena pada saat itu mereka, Suku Sekak, dapat berkumpul untuk
bersuka-ria, setelah bekerja keras.
1. Perlengkapan
Upacara Muang jong
Dalam pelaksanaan upacara Muang jong,
masyarakat Suku Sekak memerlukan beberapa perlengkapan yang harus disediakan.
Perlengkapan yang diperlukan dalam upacara Muang jong terdiri atas jung (perahu
mini), balai penonang, tiang jitun, seperangkat sesajen dan Tempa. jung (perahu
mini) adalah sebuah perahu kecil yang panjangnya 4 meter dengan layar terbuat
dari kain berwarna putih, dilengkapi sebuah keranjang atau disebut ragak Tempat
meletakkan seperangkat sesajen yang akan dipersembahkan kepada Dewa Laut. Pada
bagian atas, depan dan belakang jung terdapat beberapa hiasan lukisan berbentuk
manusia membawa senjata berupa senapan pendek dan panjang yang melambangkan
awak kapal. jung yang dibuat dihiasi beranekaragam hiasan dari daun kelapa muda
atau janur dan kertas krep. jung dicat menggunakan cat minyak warna putih,
merah, hijau, dan cat buatan sendiri dengan bahan campuran arang, kunyit dan
kapur. Balai penonang adalah replika rumah-rumahan berbentuk limas terbuat dari
kayu yang dihiasi dengan janur, kertas krep dan dicat. Balai penonang yang
dibuat untuk upacara Muang jong berjumlah 4 buah, 3 buah balai dibuat dengan
ukuran 1*1 m dan 1 balai dibuat dengan ukuran yang lebih besar dan kuat yang
akan digunakan dalam upacara balai. Tiang Jitun adalah tiang yang akan dipasang
di pantai Tempat upacara Buang jung akan dilaksanakan, terbuat dari kayu gelam
yang dipertemukan segitiganya dan dipaku serta diikat dengan seutas tali.
Tinggi tiang jitun yang dipasang adalah 6 depa atau 9 meter. Tempa adalah
saluran air yang terbuat dari kayu-kayu kecil (anak laras) yang disusun dan
dilapisi dengan tikar dan kain.
2. Tahapan
Upacara Muang jong
Pelaksanaan ritual
memakan waktu hingga 2 hari 2 malam. Upacara Muang jong dilaksanakan dalam tiga
tahap yaitu tahap sebelum upacara, tahap pelaksanaan upacara dan tahap sesudah
upacara, sebagai berikut..
(1) Tahap Sebelum Upacara Sebelum
upacara Muang jong dilaksanakan terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan,
yaitu penentuan waktu pelaksanaan upacara, penyampaian berita kepada para perangkat
upacara, masyarakat dan pemerintah daerah setempat sekaligus pencarian dana
untuk keperluan upacara, penentuan hutan sebagai lokasi pengambilan kayu
sebagai bahan untuk membuat jung dan perlengkapan lainnya. Sebelum upacara
muang jong dilaksanakan dukun melakukan ritual untuk menentukan pelaksanaan
waktu upacara. Dukun dalam menentukan hari dan tanggal pelaksanaan upacara
didasarkan kepada kebiasaan yang selama ini dilakukan. Penentuan waktu
pelaksanaan upacara dilakukan oleh dukun dengan melakukan semedi dan membaca
mantra-mantra berupa biang atau doa yang disertai sesajen. Penetapan hari dan
tanggal pelaksanaan upacara dapat diputuskan bila dukun mendapat isyarat,
keyakinan akan dibolehkannya dilakukan upacara - agar tujuan diadakannya
upacara terkabul dan tidak ada sesuatu yang akan menjadi halangan, sebaliknya
apabila dalam semedi dukun mendapat isyarat atau petunjuk pelaksanaan upacara
tidak boleh dilaksanakan maka pelaksanaan upacara harus ditunda agar tidak
menentang mara bahaya dan menimbulkan korban. Kegiatan selanjutnya sang dukun
memberitahukan kepada para perangkatnya dan masyarakat Suku Sekak. Khusus
pemberitahuan kepada pemerintah daerah, disampaikan langsung oleh lurah Suku
Sekak sekaligus untuk meminta ijin dan meminta bantuan dana. Tahap selanjutnya
sebelum pelaksanaan upacara Muang jong adalah membuat perlengkapan yang
dibutuhkan untuk upacara seperti jung, balai dan Tempa. Membuat perlengkapan,
dukun memimpin upacara untuk menentukan lokasi hutan di mana kayu akan diambil
untuk membuat perlengkapan. Setelah lokasi dan syarat yang diminta oleh roh
halus sudah diketahui, maka berita ini disampaikan kepada masyarakat Suku Sekak
untuk bersiap menuju lokasi dan mengambil kayu. Pengambilan kayu dilakukan oleh
para pemuda yang masih tangguh karena dibutuhkan tenaga dan fisik yang kuat
untuk mengambil kayu dan wanita yang masih muda untuk membantu dan memberi
hiburan dengan bernyanyi dan menari saat para pria sedang menebang kayu. Tarian
dan lagu yang dibawakan oleh wanita Suku Sekak juga merupakan persembahan
kepada roh-roh halus penghuni hutan agar diperkenankan mengambil kayu.
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam membuat perlengkapan upacara Muang jong
dikumpulkan di lokasi pembuatan jong, yaitu kayu, daun kelapa, cat, paku,
kertas, dan kain layar berwarna putih. Daun kelapa muda yang digunakan diambil
dari pohon kelapa milik masing-masing anggota Suku Sekak yang ada di lokasi
upacara. Proses pembuatan perlengkapan jung dipimpin langsung oleh dukun dengan
melibatkan semua penduduk Suku Sekak. Pembuatan perlengkapan upacara harus
selesai dalam waktu satu hari. Setelah pembuatan perlengkapan upacara selesai
dikerjakan, tiang jitun dipasang di tepi pantai, sementara balai dan jung
ditempatkan di posisinya masing-masing. Kegiatan dilanjutkan dengan upacara
balai dan naik tiang jitun. Upacara ini dilakukan pada malam hari di bawah
sinar bulan purnama. Bila pada malam yang telah ditentukan keadaan cuaca kurang
baik seperti adanya badai atau angin ribut maka acara diundur pada pagi atau
siang hari berikutnya. Sebagai tanda akan dimulainya acara, gong dan gendang
dibunyikan oleh penduduk kampung agar seluruh masyarakat Suku Sekak berkumpul
menuju tempat upacara dilakukan. Sebelum pelaksanaan upacara balai dan naik
tiang jitun dimulai, dukun memeriksa segala perlengkapan yang dibutuhkan dalam
upacara seperti pemasangan tiang jitun dan membentangkan sebuah tikar di antara
tiang jitun dan jung, di depan tikar diletakkan baskom berisi air, talam yang
di dalamnya terdapat mayang pinang yang terbungkus kain putih, semangkuk beras,
kunyit, dupa yang sudah dihidupkan dan beberapa buah kemenyang. Jika semua
persiapan sudah lengkap, dukun duduk diatas tikar dan didampingi 2 orang
pembantunya yang bertugas mengatur perlengkapan upacara dan sebagai penawar
apabila ada yang kerasukan saat upacara berlangsung. Di belakang dukun duduk
pemukul gong dan penabuh gendang serta 7 orang penangkap iblis. Penangkap iblis
bertugas untuk menangkap peserta upacara yang kesurupan saat upacara
berlangsung untuk dibawa ke perempuan yang bertugas sebagai penawar. Sang dukun
memulai upacara dengan menaburkan kemenyan di atas dupa sambil membaca biang
dan diiringi oleh gendang dan gong. Setelah selesai membaca biang sang dukun
mengambil balai dan meletakkan balai di antara kedua pundaknya, sedangkan
tangan kanan memegang salah satu sisi balai dan tangan kiri memegang sisi yang
lain dan mulai mengayunkan balai mengikuti irama gendang dan gong yang
dibunyikan sambil mengucapkan “Balai penonang klanggeng, Rumah pengayun
klanggeng, Balai penonang klanggeng, Kalu la milu klanggeng, jangen la mabu”
Setelah dukun selesai membawa balai, secara bergantian balai dibawa oleh para
pembantu dukun. Apabila saat membawa balai ada pemain yang kesurupan akan
digantikan dengan pemain lain dan penangkap iblis akan menangkap orang yang
kesurupan untuk dibawa ke perempuan penawar untuk disadarkan dengan
mengibas-kibaskan mayang pinang ke badan orang yang kesurupan. Acara balai
penonang selesai dilakukan apabila sudah tidak ada lagi pemain yang bergantian
untuk membawa balai. Kemudian acara dilanjutkan dengan upacara menaiki tiang
jitun, seperti pada acara balai sang dukun membaca biang sehingga dukun dalam
keadaan tidak sadar. Dalam kondisi tidak sadar sang dukun bangkit dan
mengangkat kedua tangannya sambil mengucapkan biang. Sebagai awal dimulainnya
upacara naik tiang jitun, perempuan pengurus upacara menyingkirkan talam yang
berisi mayang pianang dan dupa untuk memberi kesempatan kepada dukun memanjat
tiang jitun. Saat dukun memanjat tiang jitun, gendang dan gong terus dibunyikan
diikuti dengan penangkap iblis mengelilingi tiang jitun sambil menari dan
perempuan pembantu upacara mengiringinya sambil menembangkan lagu. Pada saat
dukun menaiki tiang jitun iringan gendang dan gong tidak boleh berhenti sampai
dukun turun ke tanah. Menurut mereka jitun adalah kayu besar dan sang dukun
menaiki tiang jitun karena ditarik oleh puteri jawa, sehingga orang yang ada di
bawah jitun harus terus menyanyi. Hal ini dilakukan dengan harapan agar naik
tiang jitun dengan seizin puteri jawa, tidak ada aral melintang dan dukun dapat
turun dengan selamat. Saat dukun turun dari tiang jitun dengan posisi kepala
menghadap ke bawah. Setelah turun dari tiang jitun, penangkap iblis membimbing
dukun menuju perempuan penawar untuk menyadarkan dukun dengan mengibas-kibaskan
mayang pinang. Upacara naik tiang jitun selanjutnya dilanjutkan oleh para
pembantu dukun. Para pembantu dukun sebelum secara bergantian menaiki tiang
jitun terlebih dahulu ditaburi beras kunyit dan dikibaskan mayang pinang. Acara
naik jitun berakhir bila sudah tidak ada lagi yang menaiki tiang jitun. Setelah
upacara balai dan upacara naik tiang jitun selesai, dilanjutkan dengan joged
yang dilakukan oleh para pemuda Suku Sekak. Joged diiringi dengan lagu-lagu
seperti lagu Dalung, Ya Ali dan Gajah Manunggang. Terdapat nyayian khusus yang
diberikan dukun untuk dinyanyikan masyarakat Suku Sekak untuk menunggu
datangnya fajar dan menunggui segala perlengkapan upacara Buang jung sebelum
pelaksanaan upacara dilaksanakan. Lagu yang dinyanyikan seperti lagu Daek,
Adoi-Adoi dan Cingadeg dengan cara menyanyi dengan mengelilingi perlengkapan
upacara dan lagu dinyanyikan secara bergantian dan bersahutsahutan. Bila fajar
telah datang maka pelaksanaan upacara selanjutnya dilakukan kembali oleh para pelaksana
upacara buang jung.
(2) Tahap Pelaksanaan Upacara
Pelaksanaan upacara muang jong dimulai dengan mempersiapkan dan memeriksa
segala peralatan yang diperlukan yang dilakukan sebelum matahari terbit. Dukun
memerintahkan kepada petugas arak-arakan dengan cara berjalan kaki untuk
keliling kampung yang dimulai dari ujung dusun menuju arah tepi laut, pantai di
mana upacara akan dilaksanakan. Barisan arak-arakan diiringi dengan
bunyi-bunyian dari gong dan gendang. Arak-arakan ini dilakukan untuk mengajak
dan memberitahu warga untuk menyaksikan acara buang jung. Setelah rombongan
arak-arakan tiba di pantai, dukun kembali memeriksa para pembantunya. Apabila
semua sudah dianggap lengkap oleh sang dukun, maka di bawah pimpinan dukun dan
para pembantunya diangkatlah jong beserta perlengkapan lainnya ke perahu layar
yang telah tersedia. Dalam perjalanan menuju tanjungan dan laut lepas gong dan
gendang dibunyikan, orang-orang yang ada dalam perahu bernyanyi dan berjoget,
ada di antara mereka yang dilemparkan ke laut kemudian dinaikkan kembali,
sembur-semburan dengan air laut hingga sampai ke lokasi pembuangan jong.
Setelah sampai di lokasi, kegiatan upacara dimulai dengan terjunnya seorang
penyelam mengelilingi dan menyeberangi dasar perahu untuk mengetahui tempat
pembuangan jung sudah aman dari gangguan iblis laut. Kegiatan selanjutnya
adalah dialog antara sang dukun yang berada di atas perahu selaku penyampai
persembahan Muang Jong dan perlengkapan lainnya dengan penyelam yang bertindak
mewakili Dewa Laut. Penyelam tersebut biasanya sudah dalam keadaan kemasukan
Dewa Laut. Dalam dialog terjadi tawar menawar, sang dukun menyampaikan niatnya
memberikan persembahan kepada Dewa Laut yang diwakili para penyelam Suku Sekak
dan diminta agar menerima persembahan yang diberi, dan Dewa Laut bertanya apa
yang dikehendaki oleh dukun, maka dukun mengatakan supaya Dewa Laut memberikan
kepada mereka isi laut sebagai imbalannya. Apabila telah terjadi kesepakatan,
maka jung diturunkan perlahan-lahan ke laut beserta isinya berikut dengan balai
besar. Bersamaan dengan ini diikuti pula pembuangan 1 balai di darat dan 2 di
tanjungan yang semuanya dilakukan setelah mendapat isyarat dari dukun. Saat
pembuangan jong dan balai, penyelam yang mewakili Dewa Laut melintas di bawah
jong yang diturunkan sebagai isyarat atau tanda persetujuan terhadap
persembahan yang diberikan dan memberikan pengamanan jong dari gangguan iblis
laut. Setelah semua acara pembuangan jong selesai (jong dan balai sudah tenggelam),
sang dukun memanggil penyelam yang mewakili Dewa Laut untuk naik ke perahu.
Setibanya di atas perahu oleh pengurus upacara si penyelam dikembalikan
kesadarannya dengan membaca biang atau lagu “Pulang kekire pulang ade guru
Lakile ade guru kekire la mulang” yang memiliki arti mengajak ia kembali,
supaya semangatnya pulih kembali jangan tinggal di dalam laut. Setelah semua
selesai para pengikut upacara meminta kepada Dewa Laut untuk mohon diri dan
kembali ke darat. Dalam perjalanan ke darat mereka tetap bergembira dan
bernyanyi hingga sampai di tepi pantai.
(3) Tahap Sesudah Upacara Setelah
pelaksanaan upacara Muang Jong selesai, rombongan pemuang jong kembali ke
pantai dan dibawa ke Tempa (tempat pemandian semacam saluran air). Di sana
mereka dimandikan, agar iblis dan bau anyir dari laut mengalir dan lepas dari
tubuh mereka sehingga mereka betul-betul dalam keadaan suci dan hilang dari
pengaruh sial dan iblis laut. Pantangan Terdapat pantangan-pantangan yang harus
dihindari oleh masyarakat Suku Sekak baik sebelum, saat berlangsungnya upacara
dan sesudah upacara Muang Jong dilaksanakan. Pantangan-pantangan itu meliputi,
sebagai berikut.
(1) Sebelum dan selama upacara Muang
Jong berlangsung tidak boleh ada perkelahian terutama bagi mereka yang terlibat
langsung dalam upacara. Siapa yang berkelahi akan dikenakan sanksi masyarakat
yaitu dikucilkan dari masyarakat Suku Sekak dan diwajibkan membayar ongkos
pembuatan peralatan Buang jung.
(2) Warna cat yang digunakan untuk
mengecat jong mini tidak boleh sama dengan warna cat perahu biasa yang dimiliki
oleh masyarakat Suku Sekak. Apabila pelanggaran terhadap pantangan dilakukan
akan mengundang kemarahan Dewa Laut karena dianggap jung beserta segala
pelengkapan lainnya dan sesajen yang diberikan tidak istimewa atau tidak
diberikan sebagai kehormatan bagi Dewa Laut.
(3) Selama tiga hari sesudah membuang
jong, para peserta upacara yang terlibat langsung dilarang mengambil isi laut
seperti ikan, kerang dan sebagainya. Apabila dilakukan berarti yang bersangkutan
akan mengundang sial.
(4) Peserta upacara yang berstatus
penonton, apabila ditangkap oleh pengambil iblis tidak boleh lari atau melawan,
sebaiknya ia mengikuti saja, untuk dibawa ke pengurus upacara untuk dikebas
dengan mayang pinang. Jika yang bersangkutan lari atau melawan maka ia dianggap
sial karenanya harus diusir dari kegiatan upacara.
(5) Peserta yang mengikuti upacara
muang jong di laut harus ikut mandi di Tempa walaupun sedikit saja, jika air
tidak mengenai badan atau pakaiannya, maka ia menurut kepercayaan akan
dihinggapi kesialan.
4. Lambang dan Makna dalam Unsur
Upacara
Lambang dan makna yang terkandung
dalam unsur-unsur upacara yang terdapat dalam pelaksanaan upacara Buang jung
adalah sebagai berikut. (1) Jong (perahu mini) melambangkan kapal yang akan
dipakai Dewa Laut sebagai persembahan Suku Sekak. (2) Cat yang digunakan untuk
mengecat jung, balai dan sebagainya, yang berbeda dari warana cat yang biasa
dipakai oleh perahu penduduk, yang dimiliki Suku Sekak, melambangkan bahwa
kesukaan Dewa Laut diberi sesuatu yang istimewa, lain dari yang lain. (3)
Seperangkat sesajen melambangkan atau alat penukar yang diberikan oleh Suku
Sekak kepada Dewa Laut yang nantinya Dewa Laut akan menukarnya dengan
memberikan ikan hasil tangkapan dan berbagai hasil laut lain kepada masyarakat
Suku Sekak. (4) Balai berbentuk limas, melambangkan sebuah rumah yang akan
dipersembahkan kepada Dewa Laut oleh Suku Sekak. (5) Pemakaian warna putih
untuk ikat kepala dukun, kain layar dan pembungkus mayang pinang melambangkan
kesucian. (6) Warna merah (bahan campuran kapur dengan kunyit) dan hitam arang
merupakan kebiasaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. (7) Sang dukun
mengangkat kedua tangannya melambangkan suatu permohonan atau yang mereka minta
dengan biang atau doa sang dukun. (8) Semua pekerjaan dikerjakan bersama-sama
melambangkan bahwa maksud pelaksanaan upacara demi kepentingan bersama. (9)
Keterlibatan semua anak laki-laki dan perempuan, tua dan muda dari seluruh
penduduk, melambangkan bahwa acara ini merupakan hajat seluruh masyarakat Suku
Sekak.
3. Kesimpulan
Suku Sekak merupakan satu suku di
Indonesia yang tinggal di wilayah pesisir Belitung dan masih melestarikan
tradisi secara turun temurun, yaitu upacara adat Buang Jung atau biasa disebut
muang jong, upacara adat yang berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan.
Upacara ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali oleh masyarakat Suku Sekak,
karena masih adanya kepercayaan terhadap kekuatan gaib di luar kemampuan manusia.
Kekuatan di luar kemampuan manusia ini diartikan sebagai Tuhan Yang Maha Esa
atau kekuatan super natural seperti Dewa Laut. Sebagai pranata sosial, upacara
adat Buang Jung penuh dengan simbol-simbol yang berperan sebagai alat media
untuk berkomunikasi antara sesama manusia dan juga menjadi penghubung antara
dunia nyata dengan dunia gaib. Melalui simbol-simbol, nilai-nilai etis,
pesan-pesan ajaran agama dan norma yang berlaku dalam masyarakat dapat
disampaikan kepada semua warga masyarakat. Upacara adat sebagai warisan budaya
dan mengandung nilai-nilai yang mempunyai corak kepribadian bangsa Indonesia
sebagai salah satu pendukung dalam pembentukan jati diri bangsa perlu untuk
tetap dilestarikan.
Saran
Maraknya perkembangan jaman yang sangat pesat dan membuat kebudayaan
daerah tidak diminati harus ada pergerakan dari setiap daerah untuk terus
melakukan pelestarian dengan pengenalan kepada anak-anak dan remaja penerus
bangsa. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
menginventarisasikan upacara adat yang ada, sehingga upacara-upacara adat tetap
lestari. Pengadaan buang jung ini harus terus dilakukan agar
tidak terjadinya kepunahan terhadap kebudayaan daerah dengan terus mengeksplor
kebudayaan Buang jung menjadikannya sebagai sebagai objek wisata agar bisa
dikenal orang luar dan terus melestarikannya.
Daftar
pustaka
LAMPIRAN
Arak-arakan
Tawar-menawar
Pembacaan doa
Membawa jong kelaut
Pembungan jong
Komentar
Posting Komentar